Talaga Bandung Purba

4 04 2010

Talaga Bandung panjangna kira 50 km, lébarna 30 km, mimiti ti Cicaléngka beulah wétan, nepi ka Rajamandala beulah kulon, jeung ti Majalaya, Banjaran beulah kidul nepi ka Dago beulah kalér. Ditilik sacara géomorfologi, talaga Bandung téh rada déngdék ka beulah kulon jeung kira béh tengah aya galengan saolah olah talaga teh dibagi dua nyaéta beulah wétan jeung beulah kulon. Ieu galengan téh perenahna aya di Curug Jompong. Pikeun babandingan, jerona talaga Bandung Purba téh mun kiwari mah di wewengkon Cigéréléng 45 m, Buahbatu 49 m, Cibiru 52 m, Pasirkoja 39 m, Tolo Kopo 54 m.

Rangkayan gunung kuna nu ngurilingan talaga Bandung, di antarana Gunung Puncaksalam, Pasir Kamuning, Pasir Kalapa, Gunung Lalakon, Pasir Malang, Gunung Selacau, Lagadar, Padakasih, Jatinunggal, nepi ka Gunung Bohong di beulah kidul Cimahi.

Talaga Bandung beulah kulon mimiti ngorotan kira kira 6000 taun nu geus kaliwat, nu pangheulana bobol téh nyaéta di daerah Pasir Kiara (aya ogé nu nyebutkeun di Sanghyang Tikoro) beulah kidul Rajamandala.

Di jaman kuartier kala pleistosen, kira kira 500.000 taun nu geus kaliwat, Gunung Sunda (purba) mimiti mucunghul, gunung api raksasa anu rohaka, dibeulah wétanna aya gunung Bukittunggul jeung beulah kulonna aya gunung Burangrang. Gunung Sunda ngajegir, jangkungna kira antara 3000-4000 méter. Tangkuban Parahu harita can aya.

Kira kira 375 rébu taun lilana Gunung Sunda ngajegir, nangtawing jadi tanda Tatar Sunda, nepi ka 125 rébu taun nu geus kaliwat Gunung Sunda mimiti bitu, sagala material gunung mancawura, bukti anu masih keneh katingal tug nepi ka kiwari nyaéta ayana “patahan Lémbang” anu panjangna kira-kira 22 km ngulon-ngétan. Mun hoyong atra mah coba tingali ti Maribaya beulah kidul, atawa di beulah kidul Pasar Lémbang. Ti dinya atra katingal patahan Lémbang. Tina matrial bituna Gunung Sunda téh di antarana nya ngajadikeun Talaga Bandung sok sanajan harita mah caina can pinuh pisan.

Sanggeus Gunung Sunda bitu, dina tengah-tengah urut bituna mimiti bijil gunung anyar, nyaéta pisan cikal bakal gunung Tangkuban Parahu. Jadi, Tangkuban Parahu téh anakna Gunung Sunda (purba).

Gunung T. Parahu bitu 70 rébu taun nu geus kaliwat, tah matrial tina bitu gunung T. Parahu téa nu leuwih numpuk ngajadikeun Talaga Bandung beuki ngalegaan nya nepi ka 35 rébu taun kaliwat nu dianggap panggedéna cai Talaga Bandung (dina mangsa kiwari ogé aya nu disebut Gunung Sunda di beulah kalér Gunung Tangkuban Parahu, ngan Gunung Sunda ieu mah teu jangkung, ngan ukur 1000 méteran.)

Dina mangsa kiwari, lamun téa mah Gunung Tangkuban Parahu bitu deui (da nepi ka ayeuna ge G. Tangkuban Parahu téh tetep dianggap gunung nu aktip), naha Talaga Bandung bakal kajadian deui…?





Sekilas Mengenai Praperadilan

22 11 2009

SEKILAS MENGENAI

PRAPERADILAN

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, tentang :

  1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangkanya ;
  2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan ;
  3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya yang tidak diajukan ke pengadilan.

Menurut ketentuan di atas, tampak bahwa praperadilan merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Negeri dalam memutus sah atau tidaknya tindakan penyidik dan atau penuntut umum dalam setiap rangkaian penyidikan hingga pada penuntutan.

A. Pasal 1 ayat 10 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Penangkapan dan atau penahan tersangka merupakan serangkaian bagian pada proses penyidikan perkara pidana. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Proses penangkapan itu sendiri wewenangnya terletak pada pihak penyidik dan penuntut umum. Sedangkan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya dalam hal serta cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Penyebab dilakukannya tindakan penahanan ialah :

  1. agar supaya orang yang dituduh melakukan tindak pidana itu, sewaktu-waktu dapat didengar untuk kepentingan pemeriksaan sehingga tugas-tugas pengusutan, penuntutan dan peradilan dapat diselenggarakan secara mudah dan lancar ;
  2. agar supaya tertuduh tidak melarikan diri.

Penangkapan dan penahan merupakan serangkaian kegiatan penyidikan yang dimana oleh Undang-Undang diberi kewenagan kepada pihak penyidik dan penuntut umum. Yang dimaksud dengan penyidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.

Wewenang dalam melakukan proses penyidikan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia diatur pada Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, dengan mana disebutkan :

Pasal 16

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian     perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka     penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa     tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang     berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau     mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan     tindak pidana;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri     sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk     diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Lebih lanjut, pada ayat 2 disebutkan mengenai pembatasan atau syarat-syarat dalam menentukan sahnya suatu tindakan penyelidikan dan penyidikan, yaitu :

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan

penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai

berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut

dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e. menghormati hak asasi manusia.

Terhadap permintaan sah atau tidaknya proses penangkapan dan penahanan dapat diajukan oleh tersangka , keluarga atau kuasanya.

B. Pasal 1 ayat 10 huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

  1. Putusan praperadilan menurut ketentuan pasal ini terkait dengan sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan memuat cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangka. Dalam hal sah atau tidaknya penghentian penyidikan terkait dengan hal pembuktian.

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Ketentuan ini memuat mengenai proses penuntutan yang diajukan oleh penuntut umum yang diberikan wewenang atributif oleh Undang-Undang. Menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yang dimaksud dengan penuntut umum ialah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dalam menjalankan tugasnya, penuntut umum memiliki wewenang dalam proses perkara pidana. Wewenang ini oleh pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan berupa :

(1)

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

  1. melakukan penuntutan;
  2. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  3. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
  4. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
  5. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Mengenai tindakan penghentian penuntutan dapat didasarkan pada 2(dua) alasan, yakni :

  1. Pasal 35 huruf c Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan, yakni jaksa dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ;
  2. Pasal 140 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yakni dalam hal penutut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupkan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.

Menurut ketentuan Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pihak-pihak yang dapat mengajukan pemeriksaan terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, yakni :

  1. penyidik atau penuntut umum
  2. pihak ke-3 yang berkepentingan

C. DAPATKAH PUTUSAN PRAPERADILAN DILAKUKAN UPAYA HUKUM KASASI?

Penjatuhan putusan praperadilan dilakukan oleh hakim di pengadilan negeri yang berwenang dalam memeriksa perkara pidana dimana memuat tentang sah atau tidaknya serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. Keberadaan ketentuan mengenai praperadilan ini merupakan pengimplementasian dari Pasal 7 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan mengenani tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.

Dengan dijatuhkannya putusan praperadilan memiliki akibat hukum bagi suatu perkara. Akibat hukum ini diatur pada pasal 82 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu :

(3) Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal sebagai berikut

a. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah; maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;

b. dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;

c. dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;

d. dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.

Dengan dijatuhkannya putusan praperadilan, secara normatif tidak bisa dimintakan upaya banding seperti yang diatur pada Pasal 83 ayat 1 KUHAP.

Hal di atas membawa kepada permasalahan mengenai putusan tersebut apakah dapat dilakukan upaya hukum kasasi? Munculnya permasalahan ini dikarenakan bahwa mengenai upaya hukum kasasi dalam putusan peradilan tidak diatur dalam Undang-Undang bersangkutan. Kasasi merupakan upaya hukum biasa yang pelaksanaanya dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan adanya permohonan dari pemohon kasasi. Diajukannya permohonan kasasi merupakan akibat dikeluarkannya putusan oleh hakim di pengadilan negeri mengenai tuntutan dari perkara pidana setelah melalui proses pemerikasaan di pengadilan. Dengan demikian, upaya hukum kasasi hanya dapat dipergunakan terhadap pokok perkara, sehingga menurut saya terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi. Hal tersebut dikarenakan bahwa putusan praperadilan bersifat teknis-prosedural.





Praperadilan dalam KUHAP

22 11 2009

PRAPERADILAN DALAM KUHAP

Seperti yang kita ketahui praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang :

  1. Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ;
  2. Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan
  3. Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

Yang berhak mengajukan upaya pra peradilan untuk memeriksa sah tidaknya upaya paksa, tuntutan ganti kerugian, dan permintaan rehabilitasi adalah

  • Tersangka atau
  • Keluarga tersnagka atau
  • Ahli waris tersangka atau
  • Kuasa hukum tersangka atau
  • Pihak ketiga yang berkepentingan

Yang berhak mengajukan upaya gugatan pra peradilan untuk sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan adalah

  • Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan
  • Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan

Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan adalah

  • Saksi korban tindak pidana atau
  • Pelapor atau
  • Organisasi non pemerintah (ornop/lsm); ini dimaksudkan untuk memberi hak kepada kepentingan umum terkait tindak pidana korupsi, lingkungan, dll. Untuk itu sangat layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili ornop

Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif umumnya diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sebenarnya upaya pra-peradilan tidak hanya sebatas itu, karena secara hukum ketentuan yang mengatur tentang pra-pradilan menyangkut juga tentang tuntutan ganti kerugian termasuk ganti kerugian akibat adanya “tindakan lain” yang di dalam penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP ditegaskan kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

Sehingga dalam konteks ini pra-peradilan lengkapnya diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 KUHAP.

Dalam konteks ini pra peradilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi, akan tetapi upaya pra-pradilan dapat juga dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. ( Vide : Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ), atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

Sejauh ini yang kita kenal pra-peradilan sering dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan/Permohonan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat, yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Namun sesungguhnya praperadilan secara hukum dapat juga dilakukan pihak Kepolisian terhadap pihak Kejaksaan, begitu juga sebaliknya. Perlu untuk diketahui bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan dan memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.

Praperadilan adalah hal yang biasa dalam membangun saling kontrol antara Kepolisian, Kejaksaan dan Tersangka melalui Kuasa Hukumnya atau menciptakan saling kontrol antara sesama penegak hukum. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3 atau SKPPP (Devonering), apalagi yang dilakukan secara diam-diam.

Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan akhirnya oleh penyidik perkara tersebut benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan atau malah berhenti secara diam-diam.

Di dalam era supremasi hukum ini sudah saatnya dibangun budaya saling kontrol, antara semua komponen penegak hukum ( Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat ) agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para pencari keadilan. ***